KLIKMU.CO – Suara ‘Aisyiyah Institute berbareng Program Inklusi PP ‘Aisyiyah menggelar aktivitas Writership Academy berjudul “Orang Muda Membangun Narasi Kesetaraan: Mengasah Skill Menulis di Era Digital” pada Sabtu–Ahad, 18–19 Oktober 2025, di SM Tower Malioboro, Yogyakarta. Kegiatan ini menjadi wadah bagi kader muda Muhammadiyah untuk memperdalam keahlian menulis yangg berpihak pada nilai keadilan, kesetaraan, dan inklusi sosial di tengah tantangan era digital.

Sebanyak 25 peserta muda berumur 18–25 tahun dari beragam wilayah dan latar belakang—termasuk peserta difabel—mengikuti aktivitas ini. Komposisi peserta yangg beragam mencerminkan semangat inklusivitas yangg diusung panitia. Karena sebagian besar peserta sudah mempunyai dasar menulis, training difokuskan pada peningkatan keahlian dalam menulis narasi yangg inspiratif dan berakibat sosial.
Kegiatan dibuka dengan materi “Memahami GEDSI” (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) oleh Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, berbareng Hajar Nur Setyowati, Pemimpin Redaksi Suara ‘Aisyiyah. Dalam paparannya, keduanya menekankan pentingnya memahami kesetaraan gender, kewenangan penyandang disabilitas, dan inklusi sosial sebagai landasan utama dalam menulis.
Menurut mereka, penulis kudu bisa menghadirkan representasi yangg setara bagi semua golongan masyarakat tanpa diskriminasi—terutama bagi mereka yangg sering terpinggirkan. Materi ini juga menyoroti praktik kewartawanan inklusif, ialah kewartawanan yangg tidak sekadar menyuarakan golongan rentan, tetapi menempatkan mereka sebagai subjek, bukan objek berita.
“Menulis dengan perspektif GEDSI berfaedah mengakui keberagaman manusia dan memastikan tidak ada satu pun yangg tertinggal dalam narasi pembangunan,” ujar Tri Hastuti. Peserta diajak memahami bahwa rumor seperti diskriminasi, kemiskinan, alias keterbatasan akses tidak berdiri sendiri, tetapi mengenai erat dengan struktur sosial yangg lebih besar.


Sesi berikutnya menghadirkan Muhammad Ridha Basri, Redaktur Suara Muhammadiyah, dengan materi “Menggali Ide”. Ia membujuk peserta menemukan inspirasi dari pengalaman hidup, bacaan, dan kepekaan terhadap lingkungan. “Ide tidak datang dari langit, tapi lahir dari hubungan antara bumi dalam (refleksi diri) dan bumi luar (realitas sosial). Tugas penulis adalah membikin yangg tak terlihat menjadi terlihat, dan yangg biasa menjadi bermakna,” tuturnya.
Dalam sesi ini, peserta belajar mengubah kegelisahan menjadi tulisan yangg berkekuatan ubah. Ridha mencontohkan gimana pengalaman sederhana, seperti memandang kawan difabel kesulitan mengakses ruang publik, dapat dikembangkan menjadi tulisan reflektif tentang pentingnya akomodasi inklusif. Peserta juga dilatih menyusun pertanyaan kritis agar tulisan tidak sekadar curahan hati, tetapi mempunyai nilai sosial dan advokatif. “Kegelisahan adalah bahan bakar menulis,” tambahnya.
Materi “Personal Branding: Menemukan Suara, Membangun Narasi” disampaikan oleh Saraswati N. Ia membujuk peserta mengenali kekuatan diri sebagai penulis muda melalui latihan refleksi dan obrolan interaktif. Peserta belajar menemukan style menulis, nilai pribadi, serta audiens yangg mau diajak bicara. “Tulisanmu adalah cermin dirimu. Jadikan tulisanmu portofolio yangg menunjukkan nilai dan keberpihakanmu,” ujarnya.
Sesi ini juga membahas pentingnya membangun identitas digital yangg sehat dan kredibel. Di era media sosial, penulis muda dituntut untuk tidak hanya produktif, tetapi juga bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Peserta kemudian membikin tagline individual yangg mencerminkan visi menulis mereka, seperti “Menyalakan perubahan lewat kata” alias “Mendengarkan yangg tak terdengar.”
Selain materi teoretis, peserta juga mengikuti sesi praktik menulis terkenal berbareng Hera Diani, wartawan dan pendiri Magdalene.co. Ia berbagi teknik menulis yangg ringan namun tetap kritis terhadap rumor kesetaraan. Hera menekankan pentingnya narasi individual dan metafora untuk membikin pesan sosial lebih mudah dipahami pembaca luas. “Tulisan yangg kuat adalah yangg bisa membikin pembaca peduli, bukan sekadar tahu,” katanya.
Menutup kegiatan, peserta diminta menulis tulisan bertema kesetaraan dan inklusi. Tulisan terbaik bakal dikurasi dan diterbitkan di platform digital Suara ‘Aisyiyah. Suasana training berjalan hangat dan inspiratif, dipenuhi kerjasama dan semangat belajar antar generasi muda Muhammadiyah.
Melalui aktivitas ini, Writership Academy bukan sekadar ruang belajar menulis, melainkan ruang tumbuh bagi penulis muda untuk membangun narasi pencerahan. Dengan menulis dari perspektif GEDSI, peserta diharapkan bisa menggerakkan perubahan sosial di organisasi masing-masing.
“Menulis adalah corak dakwah pencerahan—menciptakan bumi yangg lebih adil, inklusif, dan manusiawi lewat kata,” pesan Tri Hastuti menutup kegiatan.
(Nashrul Mu’minin/AS)
2 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·