Ketika Masyumi Dibungkam: Kekuasaan Takut pada Akal Sehat - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 6 jam yang lalu

Oleh Anang Dony Irawan
Penikmat Sejarah, Wakil Ketua PCM Sambikerep, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya

Sejarah sering ditulis oleh mereka yangg berkuasa, tapi jarang diingat oleh mereka yangg kehilangan suara. Tahun 1960 adalah tahun ketika logika sehat politik dibungkam atas nama kesatuan bangsa. Partai Masyumi, partai Islam terbesar dan paling berpengaruh pasca kemerdekaan, kudu lenyap dari panggung politik bukan lantaran mereka berkhianat, melainkan lantaran mereka menolak tunduk.

Nasakom: Slogan yangg Menjadi Alat Kontrol

Tahun 1959 menjadi titik kembali bagi perjalanan kerakyatan di negeri ini. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno mengembalikan UUD 1945 dan membuka babak baru berjulukan Demokrasi Terpimpin. Sebuah sistem yangg di atas kertas menjanjikan keterpaduan antara nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Namun dalam praktiknya, dia menjadi panggung politik satu arah, di mana perbedaan dianggap sebagai pembangkangan.

Bagi Partai Masyumi, perihal ini bukanlah jalan yangg benar. Mereka percaya kepercayaan dan politik kudu dijalankan dengan moral, logika sehat, dan pemisah etika kekuasaan. Masyumi menolak tunduk di bawah kehendak tunggal seorang pemimpin. Dan penolakan itulah yangg membikin mereka menjadi sasaran.

Dari PRRI ke Label Makar: Politik yangg Menghukum Perbedaan

Ketegangan politik makin memanas ketika sejumlah tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap dituduh terlibat dalam Gerakan PRRI/Permesta, sebuah perlawanan bersenjata terhadap pemerintah pusat. Tuduhan makar pun dilayangkan. Operasi militer digelar, dan satu per satu tokoh Masyumi ditangkap.

Hingga akhirnya, pada 17 Agustus 1960, bunyi Islam politik resmi dibungkam. Melalui Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960, Partai Masyumi dibubarkan. Sementara Partai Sosialis Indonesia (PSI) menyusul lewat Keppres No. 201 di hari yangg sama. Keduanya dilabeli pemberontak, meski sejarah mencatat mereka hanyalah golongan yangg berani berbeda pendapat.

Sejak saat itu, ruang oposisi di Indonesia mengecil. Demokrasi kehilangan keseimbangan moralnya. Suara kritis dari umat Islam yangg pernah memperjuangkan kemerdekaan dan etika bernegara lenyap dari panggung politik nasional.

Masyumi tidak kalah lantaran peluru. Mereka dibungkam lantaran menolak tunduk—karena berani berbicara “tidak” ketika kekuasaan mau menjadi satu-satunya kebenaran.

Ketika Agama dan Moralitas Politik Dihapus dari Sistem

Pembubaran Masyumi bukan sekadar tindakan hukum. Ia adalah pesan politik bahwa negara hanya mengizinkan loyalitas, bukan kejujuran intelektual. Sejak saat itu, politik Indonesia kehilangan keseimbangan moralnya. Suara Islam yangg berakar pada rasionalitas, keadilan sosial, dan etika pemerintahan tersingkir oleh kompromi ideologis yangg rapuh.

Bersamaan dengan menguatnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam orbit kekuasaan, kita menyaksikan gimana negara menjadi panggung ideologi tunggal—bukan lagi rumah bagi perbedaan.

Pelajaran yangg Perlu Kita Pelajari

Kini, enam dasawarsa telah berlalu, tapi bayang Demokrasi Terpimpin tetap terasa. Namun pertanyaannya tetap relevan: apakah bangsa ini betul-betul belajar dari sejarah? Apakah kita tetap memberi ruang bagi bunyi yangg berbeda, alias justru kembali mengulang masa ketika perbedaan dianggap ancaman?

Masyumi dibubarkan lantaran menolak menjadi bagian dari cult of power—pemujaan terhadap kekuasaan yangg tak boleh disanggah. Dan bangsa ini, jika tidak hati-hati, sedang melangkah ke arah yangg sama: menukar kebebasan berpikir dengan kenyamanan diam.

Demokrasi tidak pernah tumbuh dari keseragaman, melainkan dari keberanian untuk berpikir merdeka. Masyumi telah bayar mahal pelajaran itu. Dan sejarah menunggu—apakah generasi hari ini tetap berani menjaga kebebasan itu, alias justru membiarkannya kembali dibungkam atas nama persatuan. (*)

-->
Sumber Klikmu.co
Klikmu.co